(BeritaBisnis) – Ketika kinerja perusahaan sedang bagus, banyak hal yang bisa terlupakan. Dan, hal semacam itulah yang sering terjadi dimana-mana. Semua sumber daya manusia sibuk dengan urusannya masing-masing.
Tidak ada lagi waktu sejenak untuk merenung bahkan memikirkan cara, sistem dan konsekuensi dari proses rekrutmen sumber daya manusia baru yang bergabung ke dalam perusahaan.
Walau asal-asalan dan kerap dikerjakan dalam tekanan waktu yang sempit, tapi karena desakan kebutuhan yang tidak bisa menunggu, maka dampak dari berbagai kesalahan rekrutmen pun menjadi terabaikan.
Singkat kata, “bom waktu” itu luput dari perhatian. Ia menyelinap diam-diam begitu saja. Kemudian saat iklim bisnis tak bersahabat, barulah ia menunjukkan batang hidungnya. Proses rekrutmen yang salah lantas menciptakan ekonomi biaya tinggi yang kian hari menyulitkan kondisi perusahaan.
Setidaknya ada 7 kesalahan yang kerap dilakukan.
Kesalahan pertama adalah sikap yang sekedar menunggu pelamar datang. Dalam hal ini, banyak perusahaan yang merasa diri sukses saat melihat derasnya formulir lamaran yang masuk. Padahal, jangan-jangan, para pelamar itu adalah orang-orang yang telah ditolak di berbagai perusahaan lain.
Dan karena hanya bersifat menunggu, maka bisa dipastikan barisan pelamar yang berkualitas tinggi alias SI BINTANG pun kemungkinan besar sudah disambar oleh perusahaan lain.
Yang kedua, cuma bertumpu pada jasa layanan iklan. Sama nasibnya seperti sekedar menunggu pelamar datang, biasanya iklan pun lebih banyak menjaring pelamar yang telah ditolak di mana-mana.
Jujur, hal ini hanya akan memberatkan proses seleksi yang dilakukan kemudian. Misal, tersitanya waktu yang cukup lama, biaya hingga tenaga yang sia-sia.
Bagaimana tidak. Menghadapi timbunan berkas lamaran yang masuk, seleksi tahap pertama yang biasa dilakukan adalah melakukan pengecekan Curriculum Vitae, terutama latar belakang pendidikan dan jumlah IPK-nya. Untuk melalui tahap ini saja sudah pasti butuh waktu yang tidak sedikit.
Di sisi lain, standar IPK suatu universitas bisa jadi sangat jauh berbeda dari universitas lainnya, sehingga sulit untuk dijadikan sebuah standar. Apalagi, IPK juga tidak menggambarkan kualitas personality seseorang.
Kesalahan ketiga adalah terabaikannya faktor personality. Perusahaan terlalu memusatkan perhatian kepada ketrampilan dan kemampuan si pelamar saja. Kelak, setelah terlambat, perusahaan baru sadar ternyata telah merekrut orang-orang yang memiliki personality yang buruk, apalagi yang tak sesuai dengan nilai–nilai dan budaya perusahaan.
Tentu saja hal semacam ini sangat riskan. Berbahaya. Tanpa personality yang sesuai dengan nilai budaya perusahaan, karyawan akan stres atau malah tergelincir memanipulasi.
Poin yang keempat adalah merekrut untuk jangka pendek. Perusahaan selalu merekrut karyawan dalam situasi dibutuhkan segera. Mendesak. Hasilnya, perusahaan akan merekrut mereka-mereka yang memiliki kemampuan teknis tinggi saja. Kita lupa, di masa depan, sebenarnya perusahaan juga perlu calon manajer yang tangguh dan berkepemimpinan inovatif.
Lantas, dalam proses rekrutmen yang dilaksanakan, perusahaan cuma mengandalkan bagian HRD. Padahal, belum tentu divisi HRD paham dengan kapasitas dan kemampuan calon karyawan yang dibutuhkan, lebih-lebih untuk pekerjaan teknis.
Apalagi, tak jarang perusahaan menjadikan divisi HRD sebagai “kawasan buangan”. Jika yang merekrut bibit unggul calon pemimpin masa depan perusahaan adalah orang buangan yang tak mampu, tak punya motivasi maupun masa depan di perusahaan, bisa dibayangkan betapa malangnya masa depan perusahaan.
Butir keenam menyangkut turunnya toleransi standar. Contoh untuk hal ini adalah ketika suatu departemen mendadak membutuhkan tambahan karyawan, sementara perusahaan belum membuka peluang rekrutmen, maka perusahaan biasanya mengambil jalan pintas. Perusahaan memanfaatkan tenaga kontrak/honorer/temporer.
Dan biasanya, ketika peluang rekrutmen yang sebenarnya terbuka, dengan alasan kasihan atau sudah dikenal, perusahaan pun cenderung mengangkat tenaga kontrak/honorer/temporer tadi menjadi karyawan tetap. Padahal, biasanya standar tenaga temporer tak seketat tenaga tetap yang dijaring melalui rekrutmen yang sesungguhnya. Tanpa disadari, perusahaan telah menurunkan toleransi standar rekrutmennya.
Yang terakhir, karena masa depan bisnis tak pasti akibat berbagai faktor perubahan, perusahaan menjadi enggan merekrut tenaga baru. Akibatnya, saat kebutuhan itu muncul, perusahaan pun telah kehilangan kesempatan memperoleh calon terbaik.
Beranjak dari 7 kesalahan di atas, perusahaan seyogyanya bisa menyusun strategi rekrutmen sumber daya manusia yang lebih baik. Caranya?
Penulis adalah Corporate Culture Engineer dan Motivator terSaDIS di Indonesia
Penulis bisa dihubungi di: franslubis@marsforleaders.com