
(Berita-Bisnis) – Tiupan angin yang sejuk menyertai perbincangan saya dengan beberapa manajer sebuah perusahaan jaringan toko roti yang bermarkas di Solo, di kawasan wisata Batu, Malang, bulan lalu.
Dua di antaranya masih muda, tetapi merupakan pewaris tahta perusahaan yang punya kemauan belajar dan berusaha menggali pengetahuan yang diperlukan untuk kemajuan perusahaan.
Seperti pada perbincangan pagi itu, yang juga didampingi seorang konsultan manajemen yang sudah beberapa tahun bergabung, para manajer ini secara terbuka berbagi cerita tentang strategi yang sudah dilakukan, sambil sekali-sekali mengundang tanggapan serta masukan.
Bagi saya, menarik juga melihat kenyataan bahwa mereka tampaknya memiliki pemikiran yang sama dan kompak dalam mengimplementasikan strategic human resource yang mereka pahami.
Biaya besar yang mereka keluarkan untuk menyewa tempat pelatihan dan penginapan di Jambu Luwuk Resort, serta transportasi seluruh peserta dari Solo pun tidak dipandang sebagai beban, tetapi sebagai langkah strategik merealisasi visi perusahaan “menyediakan roti kecil di setiap meja di seluruh dunia”.
Memang, dengan bergurau seorang manajer senior perusahaan itu mengatakan bahwa pelatihan tersebut bisa direalisasikan karena instrukturnya dibayar dengan tarif sukarela – merujuk komitmen pelayanan kami sebagai konsultan dan instruktur yang dibayar dengan tarif yang perusahaan mampu berikan atau “persembahan kasih”.
Akan tetapi realitas bahwa mereka mengadakan inhouse atau outbond training setiap semester dengan instruktur yang selalu berbeda, lebih menunjukkan komitmen mereka pada pengembangan sumber daya manusia daripada pertimbangan biaya. Mereka bangga mengadakan inhouse training untuk para supervisor dan manajer hingga dua kali dalam setahun.
Menurut saya, apa yang mereka lakukan merupakan hal yang luar biasa mengingat masih banyak perusahaan kelas menengah –terutama perusahaan keluarga – yang menganggap remeh urusan karyawan. Jangankan pelatihan, hak karyawan seperti jamsostek, uang makan, gaji yang layak pun tidak jarang dikutak-katik sedemikian rupa sehingga pengeluaran untuk hak karyawan tersebut pun bisa seminimal mungkin atau bahkan ditiadakan.
“Saat ini banyak orang menganggur, karena itu tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan. Karyawan di perusahaan ini pun tahu hal itu, sehingga tidak mungkin mereka keluar begitu saja,” demikian seorang pengusaha kenalan saya mengungkapkan pikirannya, suatu saat.
Karena itu, pada perbincangan pagi itu, saya juga mencari tahu lebih jauh lagi pemikiran para manajer, konsultan dan pewaris perusahaan itu. Bagaimana penilaian mereka terhadap karyawan, khususnya karyawan di tingkat pelaksana.
Apakah bagi perusahaan, peran mereka sama pentingnya dengan supervisor dan manajer? Apakah karyawan di tingkat pelaksana juga mendapat pelatihan rutin?
Menurut saya, hal itu penting, terutama apabila kita menempatkan strategic human resource sebagai bagian dari strategi bersaing perusahaan. Tidak jarang perusahaan bersemangat bicara mengenai arti penting sumber daya manusia, namun yang dimaksud adalah sumber daya manusia yang ada di level menengah ke atas.
Mengenai karyawan pelaksana, manajemen berasumsi bahwa keahlian yang dimiliki para karyawan di level ini masuk dalam klasifikasi competitive parity – meminjam istilah Barney (2002).
Mereka merupakan sumber daya manusia yang bernilai, tapi tidak langka sehingga implikasinya pun terhadap persaingan dianggap rendah. Lebih jauh lagi, ada asumsi bahwa perusahaan tidak akan goyah bila karyawan pelaksana keluar atau mengundurkan diri.
Namun pemikiran atau penilaian seperti ini sebenarnya salah kaprah. Ada hal penting yang dilupakan, seperti durasi waktu yang dibutuhkan si pelaksana yang baru untuk mempelajari tugas atau pekerjaannya (learning curve).
Hal lain yang lebih bernilai dan juga penting tapi sering tidak dipikirkan adalah berkembangnya pengetahuan dan keahlian si karyawan pelaksana seiring dengan perjalanan waktu dan ketekunannya bekerja, sehingga menghasilkan apa yang disebut Brännback dan Jelassi (1999) sebagai tacit knowledge atau tacit skill.
Sebagai catatan, karyawan yang sudah sampai pada keahlian ini akan menjadi sumber daya perusahaan yang tidak dimiliki perusahaan lain (resource immitability).
Contoh konkrit penilaian yang salah kaprah ini pernah dialami Ford Motor Company, salah satu perusahaan otomotif terbesar yang berasal dari Amerika. Perusahaan ini pada tahun 1960-an hampir bangkrut karena manajemen mengabaikan masukan para teknisi yang biasa merakit mobil.
Manajemen di bawah Henry Ford menganggap para teknisi itu hanyalah pelaksana yang menjalankan perintah para insinyur, sehingga masukan mereka mengenai bentuk uliran baut yang bisa mengikat dengan kuat bagian-bagian mobil yang diproduksi, diabaikan begitu saja.
Sebaliknya, manajemen yakin bahwa bentuk uliran baut dan komponen lain yang diperlukan sudah didesain dan diuji oleh para ahli berpendidikan insinyur yang dibayar mahal oleh perusahaan itu.
Namun, keyakinan manajemen dan para insinyur itu ternyata tidak dapat memenuhi harapan pasar. Konsumen justru silih berganti menyampaikan komplain bahwa komponen-komponen mobil yang belum lama mereka beli sudah longgar dan ada yang lepas, menghasilkan suara karena gesekan besi serta mengganggu kenyamanan berkendara.
Mengetahui kondisi produk yang buruk itu, potential customer akhirnya pindah ke merek lain, yakni Toyota (Landcruiser) yang sebelumnya sulit menembus pasar Amerika. Situasi menjadi semakin parah lagi karena secara psikologis para teknisi yang merasa diabaikan manajemen itu mulai kehilangan motivasi sehingga mobil-mobil yang dihasilkan pun menjadi semakin buruk.
Lalu, apa yang menyelamatkan perusahaan tersebut sehingga kita masih bisa melihat mobil Ford tetap bersiliweran di jalan sampai sekarang? Perusahaan bisa diselamatkan juga karena para teknisi itu sendiri. Robert McNamara yang masuk menggantikan Henry Ford segera melakukan analisis masalah, mencari masukan dari semua karyawan, terutama para teknisi, dan kemudian menemukan penyebabnya berpangkal pada bentuk uliran baut yang menyatukan komponen yang tidak memiliki daya ikat kuat.
Saya yakin perusahaan Anda tidak harus mengalami situasi buruk terlebih dahulu sebelum berkembang menjadi perusahaan yang kompetitif. Namun, perlu disadari, perusahaan pasti dapat mencapai tujuan lebih cepat bila didukung pemahaman dan implementasi manajemen strategik yang tepat, termasuk strategic human resource-nya.
Bila kebetulan Anda memiliki pertanyaan seperti Ibu Oni (Roti Kecil) atau Bapak Dedy (Elang Wijaya) mengenai bagaimana cara perusahaan mengembangkan pelaksana, maka cara sederhana dan mudah dilakukan seperti berikut ini.
Pertama, tempatkan pelaksana dalam kerangka paradigma yang baru dengan berpikir bahwa mereka juga penting bagi perusahaan. Kedua, perlakukan pelaksana sebagai karyawan penting perusahaan. Tunjukkan melalui sikap dan tindakan Anda.
Ketiga, berikan kesempatan kepada mereka untuk ikut mengemukakan ide-ide baru. Keempat, libatkan dan mintalah masukan mereka dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah-masalah yang bersifat umum. Kelima, adakan pelatihan untuk mereka.
Mulailah sekarang, jangan menunda lagi. Salam sukses berkesinambungan.
Penulis adalah Praktisi Pemasaran dan Manajemen Strategik
Penulis bisa dihubungi di: lukasmanalu@gmail.com