(BeritaBisnis) – Coba sebutkan jenis penyakit yang akrab dengan masyarakat saat ini. Oke. Ada jantung koroner, ada juga kanker serviks, stroke, atau kanker prostat. Mau ditambah lagi? Silahkan. Daftar ini pasti bisa panjang.
Tapi, yang jelas, semuanya tergolong jenis penyakit yang mematikan.
Penyebabnya sendiri bisa beraneka rupa dan tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh. Kecenderungan kaum urban yang lebih banyak duduk di kantor selama lebih dari 5 jam adalah ancaman di depan mata yang memicu melebarnya ukuran pinggang. Dan, sudah banyak yang paham, gaya hidup semacam itu punya potensi besar untuk menumpuk lemak berlebih yang berujung kepada terbitnya penyakit-penyakit yang mematikan.
Untunglah, kesadaran untuk menghindari kebiasaan jelek dan hidup lebih sehat sudah menyebar kemana-mana. Karena itu, tak heran, jika sekarang ini, masyarakat modern tampak berlomba-lomba menerapkan pola hidup sehat. Entah berolah raga dengan jadwal rutin maupun menjaga ketat asupan makanannya agar kadar kalori makanannya tidak berlebihan yang bisa berdampak buruk pada tingkat kesehatannya.
Namun, aneh bin ajaib, tindakan untuk mengurangi resiko terhadap penyakit mematikan ini toh dirasakan masih jauh dari sekedar cukup.
Bila kemudian rumah sakit datang dan lebih aktif menawarkan tindakan pencegahan terhadap penyakit-penyakit mematikan itu, tentulah wajar-wajar saja. Tidak ada yang melarang bila rumah sakit berusaha menjemput bola dengan menyiapkan program marketing lewat deteksi dini terhadap berbagai penyakit, seperti jantung, kanker, dan stroke misalnya.
Coba perhatikan konten iklan rumah sakit yang terpampang di billboard jalan raya atau di berbagai media cetak yang belakangan ini semakin marak. Rata-rata berisikan pesan promosi harga murah dan terjangkau untuk deteksi dini kanker, jantung, diabetes atau stroke dengan fasilitas MRI/MRA.
Ada yang aneh? Tentu tidak. Yang terjadi adalah pergeseran pola marketing rumah sakit. Kalau dulu sangat susah mencari pesan promosi sebuah rumah sakit di media cetak, kini hampir setiap hari gampang menemukan iklan produk-produk yang disediakan oleh rumah sakit.
Jika sebelumnya kita hanya membaca advetorial tentang Program PIN, Keluarga Berencana atau program pemerintah lainnya yang memang telah dicanangkan untuk rakyat Indonesia serta bersifat massal, saat ini mudah mencari iklan display jasa layanan kesehatan, fasilitas dan teknologi yang dimiliki, terutama, oleh rumah sakit swasta.
Walau gencar menjemput bola dan berpromosi, sesungguhnya ada aturan main yang harus dipatuhi. Aturan main ini, populer dikenal sebagai Pedoman Etika Promosi Rumah Sakit, dan dirilis oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
Pedoman Etika Promosi Rumah Sakit itu misalnya mengatur bahwa pesan yang hendak disampaikan tidak boleh bertentangan dengan kode etik profesi dokter. Promosi pun dilarang bersifat diskriminatif serta tidak boleh berlebihan (dalam hal kata-kata “ter”, “paling”, dan “nomor satu”).
Promosi juga tidak diijinkan membandingkan diri sendiri dengan institusi lainnya atau menampilkan diskon pelayanan kuratif serta testimoni pasien untuk iklan.
Singkat kata, pesan promosi harus mencakup “do” dan “don’t” dan koridor itu tidak boleh dilanggar.
Platform ini alias Pedoman Etika Promosi Rumah Sakit ternyata tidak melemahkan semangat rumah sakit untuk gencar berpromosi. Justru yang terjadi sebaliknya. Bukankah selama ini, Anda sudah melihatnya sendiri via jalur below the line dan above the line?
Bukannya ide yang tumpul yang hadir, malah kejelian dan kreatifitas marketer lah dalam memainkan kata demi kata dalam sebuah aktifitas promosi yang menyeruak keluar dan berusaha menarik minat banyak orang.
Perhatikan baik-baik isi pesan artikel kesehatan terhadap penyakit mematikan yang saat ini membanjir di berbagai media. Pesan-pesan promosi itu disampaikan dengan rapi dan cerdas. Alhasil, pesan pun tampil cukup menawan dan menarik perhatian. Kesadaran masyarakat bisa tergugah tanpa harus menabrak aturan.
Satu dua kasus memang tampak menyerempet bahkan keluar dari koridor yang sudah ditetapkan. Beberapa iklan juga terasa lebih provokatif yang dengan sendirinya menihilkan poin-poin penting di dalam aturan main yang sudah disepakati bersama. Sayang, tidak ada kabar jelas perihal nasib “pelanggaran” itu, apakah memperoleh sanksi atau tidak – kalau memang dianggap sudah melanggar batas aturan main.
Yang jelas adalah seorang marketer dituntut harus mampu memaknai keinginan pasar dan sekaligus bisa menuangkannya dalam kata-kata sederhana yang secara implisit mengandung kebenaran produk kesehatan yang ditawarkan.
Jika kondisi semacam itu berlangsung terus, dimana pesan promosi yang disampaikan lebih menggugah sekaligus dapat membangun kesadaran masyarakat tanpa keluar dari rambu-rambu arena permainan, harapan akan terbentuknya suasana kompetitif yang sehat tidak akan seperti api jauh dari panggang.
Kecerdasan, keakuratan, kejujuran, sikap saling menghormati yang termaktub di dalam konten iklan rumah sakit sesungguhnya merupakan salah satu kunci untuk membangun suasana kompetisi yang sehat.
Atau dengan kata lain, rancangan strategi marketing maupun promosi hendaknya dibangun di atas landasan aturan main yang sudah dipahami bersama. Jangan sampai kehendak hati yang ingin menjemput pasien “di jalan” malah berbalik menjadi senjata makan tuan.
Kalau boleh diibaratkan, merencanakan strategi marketing, bahkan khususnya pesan promosi rumah sakit, umpama kita berjalan meniti buih. Harus hati-hati dan tetap waspada kendati peluang di depan mata begitu menggoda. Bila tidak, alih-alih dapat untung, malah kita tergelincir dan parahnya lagi memperoleh sanksi tegas dari regulator.
Tetaplah bijaksana dalam berpromosi dan selalu mengacu pada kaidah-kaidah yang telah diatur untuk kepentingan masyarakat banyak.
Penulis adalah Head of Corporate PR Siloam Hospitals Group