(BeritaBisnis) – Ketika seorang Managing Director salah satu perusahaan terkemuka menukar balik penggunaan kata “brand” sebagai “logo” saya tergeletik untuk menulis artikel ini.
Pemikiran saya, apabila seorang Managing Director saja masih belum paham tentang beda logo dan brand, tentu dapat dibayangkan betapa menantangnya upaya brand building di perusahaan tersebut.
Logo pada hakikatnya adalah aspek visual semata dari sebuah brand. Ia serupa dengan wajah dari seseorang yang bernama brand. Disamping wajah, tentu sang brand memiliki muka, badan, tangan, kaki, suara, dan sebagainya.
Layaknya wajah, logo menjadi cermin dari karakter dan kepribadian sebuah brand. Apakah wajah bersahabat, ramah, siap membantu, ceria, modern yang ingin Anda tampilkan sebagai pemilik brand? Atau sebaliknya, wajah yang kokoh, terpercaya, dapat diandalkan dan konservatif?
Apapun, pastikan konsistensi tercipta. Mengapa? Karena otak manusia cenderung simplisistis. Menyederhanakan fakta. Cenderung mengingat apa yang ingin diingat. Bahwa si Polan lucu. Si Badu cerdas. Si Amin jujur, dstnya.
Bedanya dengan wajah adalah logo sekaligus trademark yang perlu Anda lindungi secara legal formal dengan paten atau hak cipta.
Kalau logo adalah wajah suatu brand, brand juga memiliki identitas lain yang bersifat tangible, yang umum disebut sebagai brand identity elements. Nah, apa saja brand identity element lain di luar logo yang tidak kalah pentingnya? Mengapa selaku pemilik brand, Anda perlu hati-hati memelihara elemen-elemen itu?
Nama adalah satu hal. Tagline atau catchphrase alias slogan pun demikian. Juga warna, grafis, bentuk, bahkan untuk konteks persentuhan multi dimensi, suara, gerakan dan aroma menjadi elemen identitas ini.
Semua itu perlu dijaga dengan sepenuh kesadaran. Untuk melindungi nama bahkan tidak jarang pemilik brand merasa perlu membayar nilai yang fantastis kepada para pengacara kelas satu asalkan para peniru bisa minggir.
Bukan apa-apa, pemilik brand tidak ingin noda sekecil apapun mengotori brand equity mereka. Bayangkan, ketika Anda menyalakan Apple Anda dan suara ‘bong’ produk Apple saat dinyalakan berubah misalnya. Tentu ada sensasi yang hilang. Malah mungkin muncul pertanyaan tentang keaslian produk di tangan Anda, bukan?
Atau, bayangkan misalnya ketika aroma sedap dari outlet Breadtalk tiba-tiba tidak tercium lagi?
Logo berbeda dengan brand. Perlu diakui bahwa brand jauh lebih paripurna dari logo. Ia memiliki karakter, kepribadian, cara bicara, cara berjalan, beliefs dan values yang tercermin dari tindakan serta diucapkan berulang-ulang.
Inilah mengapa konsumen memilih satu brand dan bukan brand yang lain. Bahkan seringkali intangible brand elements ini lebih penting dalam mempengaruhi keputusan membeli, sebagaimana Bernd Schmitt mengungkapkannya dalam bukunya berjudul Experiential Marketing.
David A. Aaker dalam Brand Identity Planning Model menekankan identitas brand ini sepatutnya memiliki dimensi functional benefits, emotional benefits dan self-expressive benefits.
Menurut Aaker, untuk memastikan identitas brand kita memiliki kedalaman, ada empat faktor yang perlu diperhatikan yaitu, brand as product, as organization, as person, dan as symbol.
Artinya, janganlah logo berdiri sendiri. Ia perlu ditopang oleh aspek visual yang kukuh serta menyatu dengan aspek tangible non-visual lainnya. Tapi, jangan hanya berhenti di situ. Jangan lupa pula bahwa banyak aspek intangible yang penting. Kembangkan dan beri warna bagi identitas brand Anda dengan menimbang karakter, kepribadian, tata nilai yang dianut, cerita yang ingin dibangun, aspirasi yang ingin dicapai, dan faktor emosional lainnya.
Satu lagi yang penting adalah perlakukan identitas brand Anda dengan kedalaman hingga ke ujung organisasi Anda!
So, logo dan brand berbeda bukan?
Penulis adalah Brand Builder
Penulis bisa dihubungi di: lbudijarso@gmail.com