(Berita-Bisnis) – Ada seorang CEO di salah satu perusahaan bercerita ke saya. Konon, ada beberapa hal fundamental yang harus diperbaiki secara besar-besaran di perusahaan tersebut. Salah satunya adalah cara kerja produksi.
Untuk itu, ia mengundang seorang trainer guna melatih ulang seluruh supervisor produksi sampai dengan manager di seluruh unit. Program pelatihan pun berjalan. Dan, berdasarkan hasil pre dan post test, semua peserta training lulus dengan baik.
Tetapi –sang CEO bertutur- dia tidak melihat perubahan apa pun dalam pola kerja. Atau -kalau mau lebih sopan- sangat sedikit. Dia pun menjadi bingung. Apakah ada yang salah dengan bahan pelatihan? Pertanyaan itu –kemudian- dijawab sendiri oleh teman saya: tidak ada yang salah dengan bahan.
Itulah situasi yang akan ditemui di hampir seluruh change project. Tidak ada yang berubah!
Situasi yang lebih sederhana dapat ditemui dalam kehidupan organisasi sehari-hari. Ini adalah cerita seorang teman ke saya lewat email – setelah ia membaca salah satu tulisan saya. Teman ini adalah salah satu manager unit di tempatnya bekerja. Ia mengatakan bahwa management style-nya adalah kekeluargaan, santai dan bersahabat. Ia ingin team-nya lebih disiplin dalam berbagai hal. Tetapi –walau pun telah dihimbau berkali-kali- ia tidak pernah melihat hasilnya.
Situasi-situasi seperti di atas sangat bisa dimengerti karena untuk berubah, diperlukan integrasi dari dua dimensi penting: mau (willing) dan mampu (able).
Kemauan menunjukkan sikap mental seseorang/unit terhadap perubahan. Ada yang terbuka terhadap perubahan, dan ada yang tertutup/menolak perubahan. Tentu saja, sikap mental ini dapat berubah. Mungkin saja di awal terdapat penolakan, tetapi seiring dengan meningkatnya pengertian, ia dapat berubah menjadi tinggi.
Kunci utama untuk urusan ini adalah komunikasi. Bila Anda sedang menginisiasi, memimpin atau mengelola perubahan, komunikasilah sebanyak-banyaknya. Tidak peduli sebanyak atau sesering apa pun, Anda akan menemukan bahwa masih ada saja orang yang tidak tahu, atau setidaknya mengaku tidak tahu.
Kirim email, lakukan town hall meeting, surat edaran, buletin, majalah dinding, update di rapat, dan seterusnya dan sebagainya. Tidak ada yang disebut over communication (komunikasi sudah berlebihan). Anda akan menghadapi pertanyaan yang sama berulang-ulang dalam berbagai format, bahkan yang bersifat retorik.
Misal, Anda mengatakan bahwa “absensi akan diganti dengan sistem finger scan (pemindaian jari). Anda akan ditanya lagi “apakah itu berarti tidak perlu pakai kartu absensi yang di-punch ke mesin waktu?”, “apakah benar finger scan system akan berlaku?” dan seterusnya.
Anda juga akan menemukan bahwa kalimat tertentu yang diucapkan bisa memiliki berbagai arti di telinga pendengarnya. Saya sudah berulang kali menemukan fakta, ketika presentasi dilakukan, semua peserta mengerti. Tetapi, beberapa hari kemudian, mereka menanyakan hal yang persis seperti yang telah dipresentasikan.
Jadi, bila ada yang mengatakan bahwa “hati-hati, jangan mengulangi pesan yang sama terus menerus”, jangan dengarkan. Di inisiatif perubahan, hal yang sebaliknya justru harus dilakukan: “ulangi terus menerus pesan yang ingin anda sampaikan”.
Paling bagus, libatkan pihak-pihak yang terkait dengan perubahan sejak awal. Istilah konsultannya, involvement. Sangat manusiawi, orang ingin didengar dan dilibatkan dalam urusan yang akan mengubah hidup atau caranya bekerja. Bila itu dilakukan dengan benar, Anda akan mendapatkan buy-in (dukungan).
Itu adalah hal yang bagus. Orang yang terlibat –apalagi idenya dimasukkan ke dalam program- akan menjadi champion untuk proyek tersebut. Karena, bila proyek gagal, mereka juga gagal. Dan, Anda tahu, tidak ada yang suka dengan kegagalan.
Stakeholders involvement bukan saja bagus dari sudut memperoleh buy-in, tetapi juga sangat bagus untuk menyempurnakan ide proyek perubahan itu sendiri. Seringkali, suatu proyek perubahan tidak berjalan mulus karena dirancang oleh sekelompok orang yang tidak mengerti dinamika operasional. Dengan melibatkan orang-orang yang akan melaksanakan perubahan itu, banyak tantangan-tantangan yang dapat diidentifikasi, sehingga solusi dapat segera diidentifikasi.
Tetapi, hati-hati, ini adalah tricky part-nya! Pastikan Anda mengajak kelompok yang “benar” untuk dilibatkan. Bila Anda melibatkan “teroris”, itu sama dengan merencanakan kegagalan besar. Mereka bukan saja akan terus menentang setiap ide perubahan, malah menggalang kekuatan di luar untuk menggagalkan proyek tersebut.
Dimensi kedua –kemampuan- menunjukkan ketrampilan untuk mengadopsi cara baru setelah perubahan. Ini lebih berkaitan dengan kemampuan belajar (learning abibility). Faktanya, tidak semua orang di organisasi memiliki kemampuan untuk belajar hal baru seperti yang dituntut dari suatu proyek perubahan. Sehingga, sangat penting untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok ini.
Untuk tujuan managerial, kita dapat membagi kemampuan belajar ini menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mudah sekali mengadopsi cara kerja baru. Mereka umumnya adalah karyawan baru yang relatif belum terbiasa dengan cara kerja lama. Sehingga, untuk mereka, belajar cara kerja baru dengan lama adalah sama. Tentu saja, IQ juga merupakan salah satu faktor dominan di sini.
Kelompok kedua, kelompok yang sudah tidak mampu mengadopsi cara kerja baru. Ketiga, kelompok yang membutuhkan waktu lebih lama/panjang untuk mengadopsi cara kerja baru.
Tentu saja, yang harus di-hit pertama adalah kelompok cepat, karena merekalah the change maker. Kemudian, cari posisi yang cocok untuk kelompok ketiga yang sudah tidak memiliki kemampuan belajar. Dengan demikian, Anda bisa pastikan proyek perubahan bisa berjalan.
Kelompok kedua –pada dasarnya- sama dengan kelompok pertama, hanya membutuhkan waktu lebih lama.
Penulis adalah seorang praktisi strategi bisnis
Penulis bisa dihubungi di: jopiejusuf@gmail.com