(BeritaBisnis) – Minggu lalu, setelah membaca tulisan saya, seorang teman yang berprofesi sebagai Area Manager di Yogyakarta mengirim pesan singkat ke saya. Diawali dengan kalimat, “Kelihatannya memang benar pelanggan tidak selalu dianggap raja…,” dia menumpahkan rasa jengkel terhadap restoran yang sering dia kunjungi untuk menjamu puluhan pelanggan perusahaannya.
Dia merasa nggak dianggap, karena diskon yang diminta tidak mendapat kepastian hingga 2 kunjungan terakhir. Alasan petugas kasir, yang menurut dia ketus, pemilik restoran belum memberikan jawaban.
Dalam pesan singkat berikutnya, dia juga membandingkan pengalamannya pertama kali makan di restoran “Prawn 555” di Batam. Baru sekali berkunjung dan hanya membawa 7 orang tamu, petugas kasir -tanpa harus bertanya ke siapa pun- langsung memberikan potongan harga 30 persen.
Padahal dia hanya menjawab pertanyaan si petugas kasir bahwa kedatangannya selama 4 hari di Batam adalah untuk mendampingi dokter-dokter yang sedang kongres di kota itu. “Diskon yang tidak saya bayangkan,” katanya kemudian.
Pengalaman kenalan saya, seorang pebisnis, lain lagi. Bagi dia, sungguh terasa aneh sapaan para petugas sebuah bank swasta nasional. Kaku. Monoton. Itu-itu saja dan diulang terus menerus. Bagaimana mungkin pelanggan diperlakukan seperti raja jika mulai dari satpam hingga teller seperti robot yang menyapa dengan kalimat yang selalu sama dalam setiap kunjungannya. “Yang melayani padahal manusia, tapi kok kelihatannya tidak dimanusiakan ya,” ungkapnya.
Cara masing-masing perusahaan melatih karyawan untuk melayani konsumen atau pelanggan memang berbeda-beda. Menurut Catherine DeVrye (1997), penulis buku tersohor “Good Service is Good Business”, bila dikaitkan dengan pemimpin perusahaan, kualitas layanan terhadap konsumen paling tidak dipengaruhi 2 faktor penting.
Pertama, dipengaruhi oleh sikap dan tindakan pemimpin terhadap konsumen. Artinya, karyawan melayani konsumen meniru sikap dan cara pemimpin melayani konsumen. Logikanya, kalau pemimpin menanamkan ke karyawan bahwa konsumen itu penting dan harus dilayani dengan baik dan hal itu ditunjukkan melalui contoh sikap si pemimpin, maka karyawan yang tidak sejalan seharusnya tidak ada di perusahaan itu.
Namun perlu dicatat, karyawan bisa saja memberikan layanan yang tidak memuaskan walaupun pemimpinnya terlihat bersikap baik terhadap pelanggan. Mengapa? Karena sikap bos terhadap pelanggan tidak kongruen dengan perilaku terhadap karyawan. Sikap bos di-setting hanya untuk pelanggan. Bos bersikap baik kepada pelanggan sejauh hubungan bisnis masih menguntungkan.
Maka, jangan heran kalau karyawan kelihatan bersikap manis, mengucapkan sapaan standar, tersenyum, tetapi kaku seperti robot. Coba cek manajemen atau pemimpinnya, ada kemungkinan hubungan dengan karyawan pun dikelola dengan prosedur, tidak humanis dan alami.
Karena itu, tidak dapat diabaikan faktor penting kedua, yakni, bagaimana perusahaan memperlakukan karyawan. Masih menurut DeVrye, karyawan akan melayani pelanggan sama seperti bagaimana mereka diperlakukan perusahaan. Kalau perusahaan dan para pimpinannya memperlakukan dan melayani karyawan dengan baik, maka karyawan pun akan melayani konsumen dan pelanggan dengan baik.
Perlu dipahami sebelumnya, bahwa melayani karyawan bukan berarti perusahaan di bawah kendali atau kemauan bebas karyawan. Justru jika perusahaan atau pemimpin melayani karyawan sesungguhnya mengandung makna positif dan strategik yaitu, perusahan memiliki perencanaan dan bertindak nyata memberdayakan karyawan.
Bayangkan kalau karena merasa diakui, dihargai dan dihormati di perusahaan, sense of belonging karyawan kemudian terbentuk, bukankah perusahaan menjadi kekuatan luar biasa yang terdiri dari orang-orang yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kepentingan, tujuan dan visi perusahaan?
Bayangkan juga dampaknya pada servis pelanggan yang akan terjadi. Karyawan pasti akan mengadopsi nilai yang sama seperti perusahaan memposisikan mereka. Karyawan semacam ini tidak akan mempersoalkan lagi, apakah pelanggan itu raja atau bukan. Hal itu terlalu remeh buat mereka.
Pemikiran yang terbentuk kemudian di benak karyawan, menurut saya, sudah pada level advance, yaitu menempatkan konsumen dan pelanggan sebagai aset yang sangat berharga, yang harus dirawat dan dijaga.
Seperti halnya manajemen memandang aset, karyawan pun akan melihat pelanggan sebagai aset yang tidak boleh berkurang. Malah sebaliknya, karyawan berusaha menambah jumlah pelanggan yang puas dan loyal kepada perusahaan.
Tentu saja hal itu tidak mudah. Apalagi kalau pemilik atau manajemen perusahaan memandang perlakuan yang baik kepada karyawan hanya sebagai penambahan biaya – seperti yang sering saya dengar ketika berbincang dengan mereka.
Tidak jarang terjadi, malah pemilik atau manajemen yang protes, karena investasi untuk kesejahteraan atau pelatihan karyawan tidak memberikan hasil dalam waktu yang singkat. Intinya, mereka menginginkan akumulasi keuntungan harus bisa terlaksana dalam tempo cepat. Pandangan mereka tidak melambung jauh ke depan, saat di mana sebuah perusahaan yang kuat, kompetitif dan berkesinambungan (sustainable) didukung karyawan yang puas dan bahagia bisa terbentuk.
Saya jadi ingat Noto Sukamto dan Eddy Yaputra. Masing-masing sebagai owner dan marketing director perusahaan farmasi nasional PT Interbat. Di awal tahun 2006, dalam forum diskusi meeting nasional di Hotel Aryaduta, saya sampaikan bahwa paska krisis 1998, banyak Medical Representative dan Middle Manager yang terpaksa menjalankan usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada yang berjualan batik, seprai dan alat-alat rumah tangga. Pokoknya, apa saja yang bisa menambal pengeluaran rumah tangga.
Masalahnya, lanjut saya, bukan karena kenaikan gaji yang kecil -karena sebenarnya persentase kenaikan gaji berkala selalu di atas angka inflasi- akan tetapi karena krisislah yang membuat daya beli merosot sangat tajam. Tidak menunggu lama, di bulan yang sama keluar keputusan yang menambah gaji semua Medical Representative hingga ratusan ribu per orang. Benar-benar mengejutkan, karena bulan sebelumnya, semua karyawan baru saja menerima amplop yang berisi angka kenaikan gaji tahunan.
Mengapa kelihatan semudah itu perusahaan menaikkan gaji ribuan karyawannya? Bukankah alokasi keuntungan yang menjadi hak pemilik akan menjadi berkurang? Yang jelas, setelah keputusan yang mengejutkan itu terealisasi, jumlah karyawan yang tidak bisa fokus ke pekerjaan utamanya di Interbat -karena nyambi jualan panci dan batik- menjadi berkurang. Ada situasi take and give yang dengan sendirinya tidak bisa dielakkan oleh karyawan.
Keputusan itu sejatinya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya di Interbat. Eddy Yaputra -saat ini Presiden Direktur PT Futamed yang juga perusahaan farmasi- sejak lama telah membangun nilai-nilai kebersamaan. Saling melayani terjadi, bukan hanya bawahan ke atasan tetapi atasan yang memberi contoh ke bawahan.
Banyak yang tidak percaya ketika saya bercerita tentang kebiasaan Eddy Yaputra menyendok makanan ke piring karyawan, mengawasi makanan yang kurang atau perlu dipesan lagi supaya anak buahnya tidak kelaparan. Eddy Yaputra juga tidak pernah mengijinkan siapapun untuk mengangkat tas kerja atau koper pakaiannya kalau berkunjung ke daerah dan dijemput di bandara.
Dia selalu mengatakan, “saya datang bukan untuk dilayani, sebaliknya kedatangan saya untuk melayani para bos di daerah, membantu anda mencapai target penjualan.” Pelatihan untuk pengembangan karyawan dengan mengundang instruktur dari luar perusahaan pun, menjadi menu setiap semester yang tidak pernah terlewatkan.
Dia melayani karyawan terlebih dahulu, kemudian memberikan contoh bagaimana melayani para pelanggan. Pada saat penyelenggaraan kongres dokter misalnya, dia tidak memposisikan dirinya sebagai bos yang mengatur tetapi turun langsung ke lapangan, termasuk mengangkat tas atau koper dokter yang baru mendarat di bandara daerah tempat acara berlangsung.
Hasilnya? Ketika banyak perusahaan farmasi lesu bahkan minus karena dampak krisis ekonomi nasional, Interbat tetap bisa tumbuh. Hingga tahun 2006, sebelum Eddy Yaputra meninggalkan Interbat, saya tahu persis, Interbat tetap menjadi perusahaan farmasi papan atas nasional.
Contoh lain di perusahaan lain? Banyak. Anda bisa identifikasi sendiri. Perusahaan-perusahaan modern, terutama world class company, bahkan sudah menempatkan karyawan sebagai sumber keunggulan bersaing. Karyawan bangga dengan perusahaannya sebagaimana perusahaan bangga dan menghormati karyawannya.
Anda pun bisa merealisasikan impian untuk memperbesar bisnis, jaringan usaha, atau perusahaan anda sendiri.
Pertama, ubahlah pandangan anda terhadap karyawan. Jadikan mereka aset berharga perusahaan, bagian dari tubuh yang sama yang harus dijaga dan dihormati.
Kedua, perbaiki standar karyawan yang akan direkrut. Jangan abaikan level pengetahuan dan wawasan mereka dengan alasan yang lebih rendah lebih mudah diatur dan penurut. Ingat, mereka yang hanya bisa bilang “ya”, umumnya tidak memiliki capability dan diferensiasi.
Salam sukses berkesinambungan.
Penulis adalah Praktisi Pemasaran dan Manajemen Strategik
Penulis bisa dihubungi di: lukasmanalu@gmail.com