(Berita-Bisnis) – Untuk Anda yang pernah mengunjungi Singapura, pasti pernah melihat kalimat ini: “Singapore is a fine city“. Kata “fine” dalam bahasa Inggris bisa berarti “baik, bagus”. Tetapi, ia juga memiliki arti “denda”.
Kalau Anda adalah pengunjung seperti kebanyakan turis Indonesia yang selalu membeli kaos sebagai souvenir, Anda pasti menemukan bahwa kata “fine” dalam kalimat di atas merujuk pada istilah “denda”. Merokok di tempat sembarangan kena denda sekian ratus SGD (Singapore Dollar). Menyeberangi jalan tidak pada tempat dan waktunya, kena denda lagi. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Tetapi, banyak sekali orang Indonesia cinta Singapura. Setiap kali Anda berjalan-jalan di Orchard Road (jalan yang paling terkenal di sana, pusat perbelanjaan, dan hiburan), dan berbicara dengan bahasa Indonesia, Anda akan segera melihat kepala pengunjung menoleh ke arah Anda dengan pesan -tidak terucap- “ternyata Indonesia juga”.
Apalagi kalau sudah liburan panjang, keluarga Indonesia -lengkap dengan trade mark-nya: baby sitter– berseliweran di seluruh Singapura. Lebih dari itu, orang Indonesia adalah salah satu top 5 pembeli properti Singapura. Uang orang Indonesia yang dikelola oleh private banker di sana diperkirakan mencapai ratusan juta USD (United States Dollar).
Selama mereka di negara Merlion tersebut, semua (well, hampir semua) orang Indonesia mengikuti aturan yang ada. Saya hampir tidak pernah melihat orang Indonesia menyeberangi jalan sembarangan, rebutan masuk ke kereta cepat MRT (Mass Rapid Transportation) dan sebagainya. Sungguh membanggakan.
Coba tanya, kenapa orang Indonesia suka Singapura? Jawabannya mirip: teratur, bersih, tertata baik, dan sejenisnya.
Nah, kejadian yang sebaliknya ada di Indonesia. Ketika Anda melihat tanda “dilarang berhenti”, di situlah angkot (angkutan kota) memberhentikan mobilnya sembari menunggu penumpang. Di kebun binatang Ragunan, sampah di mana-mana, kecuali di tempat sampahnya sendiri. Di loket tiket, tertera tulisan “silahkan antri”, tetapi di situlah perebutan terjadi. Dan seterusnya, dan sebagainya. Sungguh memalukan.
Pertanyaan kritis, “kenapa bisa begitu?”. Jawabannya adalah karena “Singapore is a fine city“. Peraturan adalah peraturan, hukuman adalah hukuman. Tegakkan!
Nah, yang terjadi di kedua negeri tersebut juga bisa terjadi di organisasi Anda. Coba renungkan, kelompok manakah organisasi Anda? Bila Anda mulai menemukan ciri-ciri berikut:
• Karyawan merasa bahwa mereka dengan mudah bisa memperoleh excuse dari manajemen untuk tidak memenuhi kewajiban tertentu
• Manajemen mulai tidak berani menjatuhkan sanksi untuk kesalahan
• Organisasi berubah untuk memenuhi kebutuhan orang atau kelompok tertentu
• Organisasi mulai kehilangan wibawa
Itu artinya, organisasi Anda sudah menuju atau sudah seperti Indonesia. Dan, itu saatnya Anda harus menjadi Singapura.
Untuk mencapai hal tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, konsekuensi yang tidak menyenangkan (terminologi yang sangat halus untuk istilah “hukuman”) tersebut harus cukup besar untuk memberikan efek jera. Misal, denda Rp 500 setiap ketahuan merokok sembarangan tidak ada artinya, maka jadikan denda tersebut Rp 50.000.
Kedua, hukuman harus merujuk pada perilaku spesifik dan objektif. Misal, rambut pria harus rapi. Itu adalah kalimat multi tafsir dan subjektif. Tetapi, rambut tidak boleh kena telinga, adalah objektif. Prinsip ini penting untuk menghindari debat tidak perlu dan sekaligus mencegah para manager menggunakannya untuk “menekan” orang tertentu.
Ketiga, pastikan seluruh organisasi mengerti. Komunikasi, komunikasi, komunikasi. Saya termasuk orang yang selalu “paranoid” kalau sudah bicara mengenai hal ini. Ingat, tidak ada situasi over-communicated (komunikasi berlebihan) di situasi seperti ini. Anda akan selalu menemukan karyawan yang mengatakan, saya belum tahu. Tidak peduli apakah itu jujur atau pura-pura saja.
Keempat, berikan masa transisi untuk mulai membiasakan dan menyesuaikan diri. Ini adalah situasi terbaik yang bisa diberikan organisasi sebelum memperlakukan sesuatu yang baru.
Kelima, konsisten dan persisten menjalankan implementasi. Jangan hanya semangat beberapa saat di awal. Setelah itu, kembali ke situasi lama lagi. Konsisten juga berarti Anda sendiri juga mengikuti kebijakan yang digariskan. Untuk kasus Indonesia, ini adalah yang paling lemah. Peraturan ada, tetapi tidak sanggup dilaksanakan.
Jadi, it is fine to fine, adalah baik untuk mendenda.
Penulis adalah seorang praktisi strategi bisnis
Penulis bisa dihubungi di: jopiejusuf@gmail.com