(BeritaBisnis) – Ini adalah kisah nyata dari salah satu bank besar di Indonesia. Produk: kredit yang dijual dengan pasukan outsourcing.
Kredit yang ditawarkan ini cukup rumit karena ia adalah kredit tanpa agunan, ditujukan untuk pengusaha kecil/menengah dengan limit yang besar. Dokumentasi yang terlibat di dalamnya juga rumit, hampir sama dengan kredit komersial biasa.
Untuk bisa sukses, seorang salesman harus menguasai berbagai pengetahuan yang membutuhkan pelatihan terus menerus. Guna memastikan bahwa tenaga penjual tersebut tidak meninggalkan bank tersebut dengan mudah, maka mereka diberikan upah tetap plus sejumlah komisi keberhasilan.
Alkisah, terjadi perubahan organisasi. Seluruh bisnis yang menggunakan pasukan outsourcing digabung menjadi satu unit terpisah. Sang jendral baru mengeluarkan kebijakan baru: hapus seluruh upah untuk tenaga outsourcing. Mereka hanya memperoleh komisi atas penjualan yang dilakukan, seperti halnya para tenaga penjual kartu kredit.
Begitu kebijakan tersebut dikeluarkan, rontoklah barisan tenaga penjual. Mereka beramai-ramai meninggalkan bank itu. Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut pun dilakukan: rekrut yang baru secara besar-besaran. Apa yang terjadi? Volume bisnis tidak pernah memenuhi harapan. Ajaibnya, biaya penjualan juga tidak menurun.
Kisah sejati di atas memberikan satu pelajaran yang sangat penting untuk semua pemasar: jangan pernah menggunakan pendekatan yang sama untuk semua produk.
Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk para sales manager –seperti contoh di atas- tetapi juga product manager ketika akan meluncurkan produk, promotion manager ketika merencanakan aktivitas promosi, dan seluruh jajaran yang terlibat dalam urusan produk.
Kembalilah ke pertanyaan mendasar dari suatu produk ketika ia diciptakan: siapakah target yang ingin disasar? Supaya mudah, pilih salah satu kategori ini: mass product (produk massal dengan jangkauan luas) atau niche product (produk untuk segmen khusus).
Beberapa ciri mass product: jangkauan segmen luas, produk relatif sederhana, harga relatif standar. Kebalikannya adalah niche product: segmen sasaran sangat fokus, produk relatif kompleks, harga relatif mahal.
Tentu saja, ciri-ciri tersebut tidak harus dipenuhi semuanya. Cukup memenuhi sebagian syarat saja.
Mobil BMW adalah niche product, Daihatsu Xenia adalah mass product. Priority banking adalah niche product, tabungan biasa adalah mass product.
Bila produk yang dikelola adalah mass product, maka jadilah seorang “penjala ikan”. Tetapi, bila produk yang dikelola adalah niche product, jadilah seorang “penembak jitu”.
Seorang “penjala ikan” akan menebar jala seluas-luasnya, menjaring apa saja yang nyangkut di dalamnya. Setelah itu, barulah ia memilih ikan yang akan diambil atau yang akan dikembalikan ke habitat.
Kelakuan ini sangat mudah ditemui sehari-hari. Berapa kali anda menerima sms dari sales KTA (Kredit Tanpa Agunan) atau telepon dari sales kartu kredit? Itu adalah contoh “penjala ikan”.
Tetapi, perilaku tersebut tidak akan ditemui dari seorang penjual mobil BMW. Perhatikan cara mereka mendekati pengunjung pameran mobil. Mereka hanya mendekati pengunjung yang dalam spot mereka termasuk dalam kategori “orang kaya”. Itulah perilaku “penembak jitu”. Anda sering melihatnya di film. Seorang sniper selalu memiliki sasaran tertentu, membidiknya dengan tepat dan “bang”.
Konsep sederhana ini –sesungguhnya- dimengerti oleh seluruh product manager atau sales manager. Siapa yang tidak pernah dengar bahwa sekarang sudah bukan zamannya lagi menggunakan pendekatan “one fit for all”.
Tetapi, kesalahan demi kesalahan terus bermunculan. Penyebabnya macam-macam. Yang pertama, tidak meluangkan waktu cukup untuk belajar mendalami target segmen dari produk tersebut. Pada kasus di atas, bisa terjadi bahwa sang jendral hanya mendengar kata “kredit tanpa agunan (KTA)”, titik!
Ia tidak meluangkan waktu untuk mengerti lebih dalam tentang karakteristik produk, target pasar produk tersebut, cara penggunaan produk dan lain-lain. Di benaknya, seluruh KTA adalah sama. Kesalahan besar! Sama seperti menyamakan mobil Daihatsu dengan BMW, yang didengar hanya kata “mobil”.
Yang kedua, tidak cukup mendengarkan. Seorang product manager –apalagi senior- dapat dengan mudah terjebak dalam pemikiran “saya tahu segalanya”. Mereka menganggap pendapat yang berbeda sebagai “pendapat yang salah”, “pembangkangan” atau “bermaksud menguji saja”.
Perhatikan cara mereka berbicara. Umumnya, mereka suka memotong kalimat yang belum selesai, menggunakan pendekatan directive (perintah tanpa memberikan kesempatan team untuk berpartisipasi). Satu lagi, ini adalah kata favorit mereka: “pokoknya”.
Yang ketiga, ketidakmampuan untuk mengendalikan egoisme. Banyak product manager yang menyamakan kesuksesan peluncuran produk dengan kemeriahan dan eksposur media. Padahal, belum tentu semua produk cocok untuk itu. Ada kalanya, semakin eksklusif dan kecil suatu acara, semakin elegan pula acara tersebut.
Saya pernah menghadiri acara launching suatu properti di daerah Kemang Jakarta. Tidak ada media, tidak ada penyanyi live, tidak ada makan besar. Hanya ada wine, soft drink, light meal dan undangan yang tidak lebih dari 100 orang. Tetapi, jangan tanya tentang penjualan yang terjadi. Small, elegant, exclusive.
Jadi, sebaiknya menjadi “penjala ikan” atau “penembak jitu”? Tergantung produk dan targetnya. Sesederhana itu.
Penulis adalah seorang praktisi strategi bisnis
Penulis bisa dihubungi di: jopiejusuf@gmail.com