(Berita-Bisnis) – Masih segar di ingatan saya, satu kejadian di Starbucks. Waktu itu, saya sedang duduk santai menunggu teman sembari menyeruput minuman favorit: triple grande java chip frapuccino with soy and no wip.
Well, untuk Anda yang tidak terbiasa dengan minuman Starbucks, itu adalah minuman kopi ukuran sedang yang di-blender dengan es batu. Isinya, 3 shot expresso/kopi kental, potongan kecil coklat, susu diganti dengan susu kedelei, dan tidak pakai whip cream.
Tiba-tiba, perhatian saya tertuju pada percakapan seorang calon pembeli kopi dalam kemasan dan barrista-nya (waitress Starbucks disebut barrista). Calon pembeli tersebut bertanya: “apa kopi yang enak?”. Setelah berbincang sejenak, sang barrista berkata (ini yang paling menarik): “saya punya kopi dari bla, bla, bla dan bli, bli, bli”.
Penggunaan kata “saya” di situasi di atas menunjukkan sikap self confidence yang sangat tinggi. Itu adalah salah satu pra-syarat sukses seorang penjual. Dan, itu hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang produk yang ia jual.
Kata “saya” juga mengindikasikan rasa tanggung jawab, dan itu sangat disukai oleh pelanggan. Jujur saja, pelanggan sudah muak dan bosan dengan perilaku organisasi yang tidak bertanggung jawab. Mereka selalu merasa di “ping-pong”, dirujuk ke sana sini tanpa kejelasan pihak yang bertanggung jawab. Jadi, ketika mereka menemukan seorang karyawan yang mengatakan “saya akan urus ini”, mereka akan merasa lega dan respek.
“Saya” juga menunjukkan adanya sense of belonging, rasa memiliki. Coba perhatikan dengan seksama, biasanya yang “berani” menggunakan kata “saya” hanya pejabat tinggi atau pemilik bisnis. Jarang sekali ditemukan di level front line. CEO merupakan representasi dari pemilik untuk menjalankan perusahaan, tetapi seorang barista? Dia hanya seorang dari sekain ribu karyawan. Namanya saja mungkin sudah tidak dikenal oleh manager 2 lisan diatasnya. Jadi, ketika dia menggunakan “saya”, itu adalah representasi loyalitasnya.
Kalau sudah membaca uraian di atas, tiba-tiba semua orang ingin memiliki situasi seperti itu. Karyawan yang bertanggung jawab, memiliki sense of belonging, dan percaya diri. Tentu saja, Anda juga bisa memiliki karyawan seperti itu, asalkan bersedia melakukan investasi dan perubahan.
Pertama, pastikan karyawan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Mereka harus memiliki in-sight atas produknya, bukan sekedar menghafalkan spesifikasi teknis. Ambil pakaian wanita sebagai contoh. Pakaian terbuat dari bahan campuran poliester 65 persen dan katun 35 persen, tersedia dalam warna hitam, putih, corak vertikal atau horizontal, dan seterusnya. Itu adalah spefisikasi teknis.
Di sebagian besar kasus, pembeli atau pelanggan tidak mengerti relevansi atau kaitan spefisikasi teknis tersebut dengan kebutuhan mereka. Apa artinya poliester 65 persen dan katun 35 persen?
In-sight dari spesifikasi tersebut adalah: kain tersebut tidak mudah kusut karena sebagian bahannya adalah poliester, sehingga pelanggan bisa dengan mudah merapikan pakaian tersebut. Tetapi, sifat poliester (kain sintesis) membawa sifat panas, sangat tidak sesuai dengan iklim tropis. Oleh karena itu, sebagian bahan pakaian adalah katun. Katun adalah kain dari serat alami. Ia sangat adem dipakai, tetapi mudah sekali kusut. Dengan demikian, mengkombinasikan dua jens bahan tersebut, pakaian yang dihasilkan masih tetap adem, tetapi juga mudah dirapikan. Cocok untuk iklim tropis seperti Indonesia. Nah, itu baru memilki arti di otak pembeli.
Kedua, pendelegasian wewenang. Orang berani mengambil inisiatif apabila tahu memiliki wewenang. Tanpa itu, tidak mungkin ada yang mengatakan “saya”. Mau tahu apa yang sering terjadi di Starbukcs: sang barrista memberikan minuman gratis kepada pelanggannya. Saya sendiri pernah mengalaminya.
Kisahnya, saya order satu minuman favorit plus satu black coffee untuk istri saya. Somehow, mereka lupa key in order black coffee. Setelah menunggu beberapa saat, saya menanyakan kopi tersebut. Setelah cek sebentar -dan menemukan bahwa pesanan saya belum diorder oleh mereka- langsung saja barista yang melayani saya memberikan satu kopi hitam sambil berkata: “free from me” (gratis dari saya).
Dia tidak konsultasi dengan siapa pun. Hal ini beda sekali dengan sebagian besar industri lain. Saya pernah alami di salah satu kursus bahasa Inggris. Ketika akan membayar kursus anak, saya menemukan bahwa ada biaya sertifikat Rp 10 ribu. Saya komplain, menyediakan sertifikat adalah kewajiban sekolah, kenapa harus bayar? Setelah front liner tersebut ngurus sana sini selama kurang lebih setengah jam, barulah dapat jawaban.
Tetapi, hati-hati juga dalam melakukan pendelegasian ini. Pastikan dulu karyawan yang bersangkutan memenuhi syarat pertama tadi. Kemudian, pastikan mereka mengerti batasan wewenang yang diberikan. Misal, besar potongan yang boleh langsung diputuskan, hadiah yang boleh dibagi, dan seterusnya.
Kelihatan sederhana kan? Coba praktekkan!
Penulis adalah seorang praktisi strategi bisnis
Penulis bisa dihubungi di: jopiejusuf@gmail.com