(BeritaBisnis) – Dalam sebuah diskusi dengan tim pemasaran perusahaan supplier baru-baru ini, seorang manajer divisi pemasaran mengungkapkan rasa jengkelnya atas komplain salah satu pelanggan yang mempermasalahkan waktu pengiriman yang tidak sesuai permintaan.
Intinya, manajer pemasaran itu tidak terima disalahkan. Ia merasa penawaran sudah lama dikirim.
Biasanya, si pelanggan tadi menurunkan order kalau jadwal produksi mereka sudah mepet, diikuti dengan omelan bagian pembelian yang menuduh supplier tidak profesional karena tidak bisa memenuhi keinginan mereka.
Mengakhiri unek-uneknya, sang manajer pemasaran pun bertanya, “apakah benar pelanggan itu raja?”
Kotler (2003) menyebutkan bahwa perusahaan, melalui sales representative, melakukan berbagai tugas yang mencakup posisi yang berbeda-beda. Tidak terbatas hanya pada aktivitas prospecting dan selling. Mereka juga harus melakukan tugas-tugas communicating, allocating, information gathering dan servicing.
Berkaitan dengan servicing, salah satu layanan yang seharusnya dilakukan adalah membantu menyelesaikan masalah si pelanggan.
Robert McMurry (1986) juga membagi aktivitas pemasaran menjadi 6 tipe. Berturut-turut mulai dari -yang disebut McMurry- sangat tidak kreatif hingga sangat kreatif yakni, deliver yang mengirim produk, order taker sebagai penerima atau pengambil order, missionary yang berusaha membangun keinginan baik pelanggan, technician yang bertugas memberi dukungan dan konsultasi teknis, demand creator yang berusaha mengembangkan metode-metode kreatif pemasaran hingga solution vendor yang memiliki keahlian sebagai konsultan yang menyelesaikan masalah pelanggan.
Mengacu kepada dua pemikiran pakar tersebut, dan meminjam istilah teman-teman detailer perusahaan farmasi, “mbabu” kepada pelanggan jelas sudah bukan jamannya lagi. Perusahaan atau karyawan yang mewakilinya, di masa kini sudah seharusnya memiliki keahlian untuk memberikan solusi kepada pelanggan.
Karena itu, walaupun pernyataan mengenai kebenaran pelanggan sebagai raja sebenarnya sering saya dengar pada saat memberikan pelatihan, tapi pertanyaan yang muncul kemudian di sesi diskusi terasa berbeda.
Sehari sebelumnya, setelah saya duduk di kursi pesawat 737-800 Garuda -maskapai penerbangan yang menurut saya menghormati pelanggannya tanpa basa-basi itu- secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah peristiwa yang tampaknya berkaitan dengan “kejadian sang manajer pemasaran” tadi.
Seperti biasanya, saya memilih untuk duduk di kursi samping pintu darurat. Alasannya, sederhana saja. Area di samping pintu darurat lebih lapang untuk kaki yang agak panjang, dan tentu saja memenuhi syarat untuk membuka pintu darurat pada saat dibutuhkan.
Ketika itu, pramugari menawarkan kepada seorang penumpang wanita yang juga duduk di area yang sama seberang gang agar pindah posisi ke bangku depan. Tak dinyana, penumpang wanita itu malah mengeluarkan umpatan disertai ucapan yang kurang pantas. Ia merasa mendapat perlakukan diskriminatif karena “tidak diperbolehkan” duduk di area pintu darurat.
Bahkan, si penumpang wanita sempat-sempatnya mengeluarkan ancaman, dirinya akan turun dari pesawat kalau ia dipaksa pindah. Barangkali karena tidak siap menghadapi perlawanan dan ancaman, sembari tersenyum, si pramugari pun lantas minta maaf dan segera berlalu ke belakang.
Dalam hati saya bertanya, kok minta maaf? Kalau tindakan pramugari sesuai prosedur, mengapa harus mengalah? Menuruti kemauan si penumpang yang dinilai tidak memenuhi syarat untuk tetap duduk di area pintu darurat jelas mempertaruhkan keselamatan banyak penumpang lain.
Juga sama dengan kasus diskusi perusahaan supplier di atas. Sejatinya potensi resiko bagi si pelanggan sangat besar kalau memberikan purchase order ketika jadwal produksi sudah dekat. Mengapa manajer pemasaran tidak memberikan advise kepada si pelanggan? Konyol kalau memperlakukan semua pelanggan sama, apalagi kalau semua pelanggan dianggap raja.Menurut saya, perusahaan yang ingin mencapai eksistensi yang berkesinambungan sudah saatnya meng-update sikap mereka terhadap pelanggan. Paling tidak lakukan tiga hal berikut.
Pertama, bangun nilai-nilai baru yang berbasis pemikiran bahwa kalau perusahaan ingin tetap eksis, maka anda harus memastikan perusahaan pelanggan terbebas dari hambatan untuk mencapai kesinambungan (sustainability).
Yakinlah bahwa hanya pelanggan yang berkesinambungan yang akan membuat eksistensi perusahaan anda juga berkesinambungan.
Kedua, tanamkan juga nilai bahwa pelanggan bukanlah raja yang harus selalu dituruti, tetapi mitra yang sejajar untuk mencapai tujuan masing-masing perusahaan.
Ketiga, berani dan harus menyampaikan hambatan atau potensi masalah pelanggan yang anda lihat kepada mereka. Informasikan kepada mereka dampaknya yang potensial di masa depan, bukan yang ada saat ini.
Itulah bekal untuk sukses berkesinambungan.
Penulis adalah Praktisi Pemasaran dan Manajemen Strategik
Penulis bisa dihubungi di: lukasmanalu@gmail.com