
(Berita-Bisnis) – Belakangan ini, employee engagement menjadi trending topic bukan saja di dunia human resources akan tetapi juga di dunia bisnis. Mengapa? Jawabannya simpel, perusahaan ingin untung.
Riset menunjukkan bahwa pekerja yang engaged akan lebih produktif, lebih disukai customer/client, dan lebih bertahan lama dalam pekerjaannya yang ujung-ujungnya bermuara kepada keuntungan perusahaan. Bersumber dari alasan mendasar itulah, berbagai cara -baik material maupun non-material- dilakukan untuk meningkatkan tingkat employee engagement.
Namun, ketika semua daya upaya tersebut ditujukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi pekerja sambil terus menerus mencoba membuat paket remunerasi dan benefits yang kompetitif, perusahaan seringkali melupakan satu atribut yang begitu melekat pada peran seorang pekerja: atasan.
Setiap pekerja tentunya mempunyai seorang atasan. Dan, betapa pun efektifnya perbaikan yang dilakukan terhadap faktor material dan non-material lainnya -seperti yang ditulis oleh Jim Clifton, CEO Gallup, dalam sebuah artikel baru-baru ini- pekerja tidak akan engaged apabila memiliki atasan yang buruk. Dengan kata lain, investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membuat para pekerja merasa betah dan produktif, apabila tidak dibarengi dengan usaha untuk mendidik para atasan, hasilnya pastilah akan sia-sia.
Sebuah studi massal yang dilakukan untuk melihat hubungan antara atasan yang efektif dan pekerja yang engaged di berbagai negara dan wilayah menunjukkan pola yang serupa, yaitu bahwa pekerja yang memiliki atasan yang bertanggung jawab dan efektif cenderung lebih merasa puas dengan pekerjaan dan perusahaannya.
Hal serupa dirasakan juga oleh para atasan. Dalam studi yang sama didapati bahwa atasan yang memiliki kemampuan supervisi yang baik cenderung memiliki bawahan yang lebih gembira dan lebih termotivasi dibandingkan 92 persen pekerja lainnya.
Keeratan hubungan antara atasan yang baik dan employee engagement ini, acap kali diabaikan oleh perusahaan karena perusahaan menganggap bahwa baik buruknya seorang atasan itu adalah masalah personal. Sebagian besar orang merasa ketiban sial saja apabila mempunyai atasan yang buruk. Banyak orang menganggap sepele hal ini.
Namun, apakah masih pantas dianggap personal dan sepele apabila ketidakefektifan seorang atasan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap employee engagement secara spesifik dan kinerja perusahaan secara umum?
Secara pribadi, saya setuju bahwa employee engagement bukan hanya melulu mengenai perbaikan infrastruktur perusahaan, tetapi juga mengenai perbaikan mental para pemimpinnya. Pada kenyataannya, menjadi seorang atasan tidaklah mudah. Dari ex-atasan saya, saya belajar bahwa menjadi seorang atasan bukan hanya masalah jabatan. Seorang pekerja, seiring berjalannya waktu, akan menjadi mahir di bidang kerjaannya dan dapat menduduki posisi yang lebih senior. Tetapi itu bukan berarti bahwa dengan tingkat senioritas tersebut, dia mampu menjadi atasan yang baik.
Menjadi seorang atasan adalah mengambil tanggung jawab untuk sebuah peran yang sepenuhnya berbeda dari sekedar menjadi senior/seorang yang mahir dalam bidang kerja tertentu.
Apabila dianalogikan, maka peran seorang pekerja yang tidak memiliki bawahan bagaikan seseorang yang masih lajang. Di saat seperti itu, semuanya serba self-centered. Tanpa memiliki bawahan, pekerja dapat mendedikasikan 100 persen waktu kerja untuk hal-hal yang dapat meningkatkan kinerja dirinya.
Lain halnya dengan atasan/pekerja yang memiliki bawahan. Seorang atasan tidak boleh egois hanya memikirkan diri sendiri dan kinerja individual semata. Peran seorang atasan bisa diibaratkan bak peran orang tua. Seorang atasan dituntut untuk dapat membagi waktu antara fokus terhadap pekerjaan serta kinerja pribadi dan sekaligus pada saat yang sama juga fokus terhadap perkembangan dan kinerja bawahannya. Bukan hal yang mudah memang, tapi itu merupakan bagian dari peran seorang atasan.
Sama seperti ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak jalan pula untuk menjadi atasan yang baik. Walaupun begitu, ada beberapa hal yang perlu dihindari sejak dini agar Anda tidak menjadi figur atasan yang buruk. Dalam bukunya yang bertajuk Some Bosses Live in a Fool’s Paradise, Robert Sutton mengidentifikasi 3 kecenderungan negatif yang seringkali dimiliki oleh seorang atasan yang buruk.
Pertama adalah self-deluding atau kebohongan diri. Hal ini tidak terjadi hanya pada atasan tapi pada semua orang tanpa terkecuali. Seringkali kita membohongi diri sendiri dengan menilai diri kita lebih dari apa yang sebenarnya. Pada atasan, hal ini sering ditemui ketika mereka merasa dengan pangkat dan jabatannya, mereka lebih piawai, lebih tahu, lebih pintar, lebih produktif, dan lebih yang lainnya daripada bawahan mereka.
Kecenderungan semacam ini dapat menimbulkan rasa segan dari pihak bawahan untuk mengambil inisiatif ataupun mengajukan pendapat/ide yang mungkin lebih baik daripada yang dimiliki oleh atasan. Bawahan jadi tidak termotivasi untuk memberikan pendapat, mencari solusi apalagi mempertanyakan keputusan/pendapat atasan. Tidak heran di tempat kerja kita sering mendapati orang berujar, “Ah, ngapain dibenerin? Toh nanti juga si bos akan ganti lagi kok. Kan dia yang lebih tahu”.
Yang kedua adalah heedless of subordinates atau mengacuhkan bawahan. Mereka yang duduk di posisi sebagai atasan mendapat banyak sorotan dari bawahannya. Sorotan dapat berarti baik maupun buruk. Bawahan memperhatikan gerak gerik atasan untuk berbagai alasan, antara lain untuk dijadikan contoh maupun untuk dinilai kesanggupan atau kepantasannya untuk menjadi atasan.
Sayangnya, sorotan ini hanya berlaku satu arah: dari bawahan ke atasan. Atasan, di sisi lain, seringkali tidak memberikan cukup perhatian kepada bawahan. Berapa banyak atasan yang menanyakan pada bawahannya perihal kesulitan yang mereka hadapi? Seberapa sering atasan memberikan umpan balik yang konstruktif tanpa ada maksud menggurui? Tahukah atasan akan masalah non-pekerjaan yang dihadapi bawahan yang berpotensi mengganggu kinerjanya?
Dan, yang ketiga adalah insulated from reality atau terisolasi dari kenyataan. Sebagai pelaksana, bawahan memiliki akses terhadap informasi yang mungkin tidak diketahui oleh atasan, tetapi hanya sedikit bawahan yang akan melaporkan informasi yang diperoleh tersebut ke atasannya.
Karena itu, istilah don’t shoot the messenger perlu dipahami dengan lebih bijaksana oleh atasan. Pada saat bawahan menyampaikan sesuatu -termasuk berita buruk, isu atau pun kendala- atasan yang buruk memiliki kecenderungan untuk menyalahkan si pembawa berita. Apabila hal ini dibiarkan terjadi, maka sesungguhnya pada saat yang sama, atasan tidak membangun rasa kepemilikan dan kepedulian dalam diri bawahannya terhadap masalah/isu yang terjadi di perusahaan. Kelak, bawahan akan merasa enggan untuk menyampaikan hal yang sesungguhnya dan cepat atau lambat atasan bakal terisolasi dari kenyataan yang ada di lapangan.
Berdasarkan pengalaman, saya sering mendapati mereka yang duduk di bangku atasan mengeluarkan kebijakan/program baru dengan itikad untuk mengatasi masalah, namun karena tidak mengerti betul apa yang terjadi di lapangan, kebijakan/program baru itu pun tidak pernah membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Perusahaan lagi-lagi dirugikan.
Apabila Anda seorang atasan, masuk ke dalam kategori manakah Anda? Apabila Anda adalah seorang bawahan, masuk kategori manakah atasan Anda? Dan, apakah yang dapat Anda pelajari dari atasan Anda supaya suatu hari nanti Anda tidak menjadi atasan yang buruk?
Seorang atasan yang baik akan memberikan dampak besar bagi employee engagement. Siapa sih yang tidak senang bekerja untuk atasan yang baik? Bilamana bawahan mendapati bahwa atasannya pantas menduduki jabatan sebagai atasan dan pantas dihormati, engagement itu akan terjadi dengan sendirinya.
Hubungan atasan dengan bawahan adalah hal mendasar yang bisa berdampak besar bagi engagement seorang pekerja pada perusahaannya. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Penulis adalah HR Corporate HR Practitioner
Penulis bisa dihubungi di: adsa.hermawan@gmail.com